Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi.
Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi
material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan
sel biomassa baru. Proses ini menggunakan udara yang disalurkan melalui pompa
blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang
akan mengendap di tangki penjernihan. Kemampuan bakteri dalam membentuk flok
menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara biologi, karena akan
memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif dicirikan oleh
beberapa parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index =
SVI) dan Stirred Sludge Volume Index (SSVI).
Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari bentuk flok, yang diwakili
oleh faktor bentuk (Shape Factor = S). Sistem pengolah lumpur aktif baik untuk
domestik maupun industri mengandung 1-5% padatan total dan 95-99% bulk water
(liqour ?). Pembuangan kelebihan lumpur dilakukan dengan mengurangi volume
lumpur melalui proses pengepresan (dewatering). Konsentrasi besi yang tinggi
konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam bentuk Fe (III), ditemukan dalam
lumpur aktif. akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah atau
melalui penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan fosfor.
Sebagai contoh pengolahan limbah sistem lumpur aktif adalah Unit Pengelolaan
Air Limbah PT. UNITEX. Unit ini mampu mengolah limbah lebih dari 200 m2 per
hari. Proses pengelolaan terbagi atas tiga tahap pemrosesan, yaitu : 1. Proses
Primer, meliputi penyaringan kasar, penghilangan warna, equalisasi,
penyaringan halus, pendinginan, 2. Proses Sekunder, biologi dan sedimentasi dan
3. Proses Tersier, tahap lanjutan dengan penambahan bahan kimia.
Sistem yang digunakan dalam PAL PT. Unitex merupakan perpaduan antara proses
fisika, kimia dan biologi. Yang paling berperan dalam hal pengurangan
bahan-bahan pencemar adalah proses biologi yang menggunakan sistem lumpur aktif
dengan extented aeratio. Selain limbah cair, terdapat juga limbah padat berupa
lumpur yang merupakan hasil samping dari sistem pengolahan yang digunakan.
Lumpur hasil olahan digunakan sebagai bahan campuran pembuatan coneblock dan
batako press serta pupuk organik. Hal ini merupakan salah satu alternatif dan
langkah lebih maju dari PT. Unitex dalam memanfaatkan kembali limbah padat.
KATA KUNCI
: Lumpur
Aktif, Industri, Tekstil, Activated Sludge
JENIS TEKNOLOGI : Teknologi Pengolahan Air Limbah
TARGET PENGGUNAAN : Industri Menengah, Industri Besar
JENIS TEKNOLOGI : Teknologi Pengolahan Air Limbah
TARGET PENGGUNAAN : Industri Menengah, Industri Besar
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1. Latar Belakang
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba
tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Ingris pada awal abad 19. Sejak itu
proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik sekunder
secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang
mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4.
dan sel biomassa baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused)
atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di
tangki penjernihan (Gariel Bitton, 1994).
Anna dan Malte (1994) berpendapat keberhasilan pengolahan limbah secara biologi
dalam batas tertentu diatur oleh kemampuan bakteri untuk membentuk flok, dengan
demikian akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah
ekosistem yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan organisme-organisme
lain. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa parameter, antara lain, Indeks
Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI) dan Stirrd Sludge Volume
Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari bentuk
flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor = S).
Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan bahwa proses lumpur aktif
dalam pengolahan air limbah tergantung pada pembentukan flok lumpur aktif yang
terbentuk oleh mikroorganisme (terutama bakteri), partikel inorganik, dan
polimer exoselular. Selama pengendapan flok, material yang terdispersi, seperti
sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok. Pembentukan flok
lumpur aktif dan penjernihan dengan pengendapan flok akibat agregasi bakteri
dan mekanisme adesi. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa flokulasi dan
sedimentasi flok tergantung pada hypobisitas internal dan eksternal dari flok
dan material exopolimer dalam flok, dan tegangan permukaan larutan mempengaruhi
hydropobisitas lumpur granular dari reaktor lumpur anaerobik.
Frank et all (1996) mencoba menggambarkan bahwa dalam sistem pengolah lumpur
aktif baik untuk domestik maupun industri mengandung 1-5% padatan total dan
95-99% bulk water (liqour ?). Pembuangan kelebihan lumpur merupakan
proses yang mahal, dilakukan dengan mengurangi volume lumpur melalui proses
pengepresan (dewatering). Pada bagian lain dinyatakan pula bahwa
konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam bentuk
Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif.
Akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah atau melalui penambahan
FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan fosfor. Jumlah besi dalam
lumpur aktif akan berkurang setelah memasuki kondisi anaerobik dan mungkin
berasosiasi dengan adanya aktifitas bakteri heterotrofik. Berkurangnya fosfor
dalam lumpur aktif dapat menyebabkan fosfor terlepas kedalam air. Jika ini
terjadi merupakan potensi untuk terjadinya eutrofikasi pada perairan.
Enri dan Anni (1995) juga mengemukan bahwa limbah padat yang berasal dari suatu
instalasi pengolah air limbah industri tekstil dapat digolongkan ke dalam
limbah berbahaya karena mengandung logam berat. Mereka mengkaji kemungkinan
proses solidifikasi mempergunakan tanah lempung dengan hasil yang cukup baik
dari segi kekuatan tekan bebas, permeabilitas, dan hasil lindinya.
1.2. Tujuan dan Sasaran
Penerapan teknologi ini dengan tujuan dapat menghilangkan limbah organik
sederhana dan mudah urai, organik kompleks seperti warna, bau. Proses ini juga
mengilangkan logam berat. Sasaran dari penerapan teknologi ini adalah air hasil
pengolahan limbah tekstil tidak mencemari lingkungan.
1.3. Manfaat
Teknologi ini dapat menurunkan total padatan tersuspensi (TSS) hingga mencapai
91%, COD 62%, Fe 96% dan BOD5 97%. Proses ini juga menghilangkan
warna dan bau dari limbah tersebut.
1.4. Kontak Personil
Ir. Arie Herlambang, M.Sc.
Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair,
Direktorat Teknologi Lingkungan,
Kedeputian Bidang Informatika, Energi dan Material.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat
Tel. 021-3169769, 3169770 Fax. 021-3169760
Email : air@server.enviro.bppt.go.id
Home Page : http://www.enviro.bppt.go.id/~Kel-1/
Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair,
Direktorat Teknologi Lingkungan,
Kedeputian Bidang Informatika, Energi dan Material.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat
Tel. 021-3169769, 3169770 Fax. 021-3169760
Email : air@server.enviro.bppt.go.id
Home Page : http://www.enviro.bppt.go.id/~Kel-1/
II. PROSES LUMPUR AKTIF
2.1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional
2.1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional
Proses Lumpur Aktif Konvensional dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional
Tangki aerasi
Oksidasi aerobik material organik dilakukan dalam tangki ini. Efluent pertama
masuk dan tercampur dengan Lumpur Aktif Balik (Return Activated Sludge =RAS)
atau disingkat LAB membentuk lumpur campuran (mixed liqour), yang
mengandung padatan tersuspensi sekitar 1.500 - 2.500 mg/l. Aerasi dilakukan
secara mekanik. Karakteristik dari proses lumpur aktif adalah adanya daur ulang
dari biomassa. Keadaan ini membuat waktu tinggal rata-rata sel (biomassa)
menjadi lebih lama dibanding waktu tinggal hidrauliknya (Sterritt dan Lester,
1988). Keadaan tersebut membuat sejumlah besar mikroorganisme mengoksidasi
senyawa organik dalam waktu yang singkat. Waktu tinggal dalam tangki aerasi
berkisar 4 - 8 jam.
Tangki Sedimentasi
Tangki ini digunakan untuk sedimentasi flok mikroba (lumpur) yang dihasilkan
selama fase oksidasi dalam tangki aerasi. Seperti disebutkan diawal bahwa
sebaghian dari lumpur dalam tangki penjernih didaur ulang kembali dalam bentuk
LAB kedalam tangki aerasi dan sisanya dibuang untuk menjaga rasio yang tepat
antara makanan dan mikroorganisme (F/M Ratio).
Parameter
Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis dan Cornwell, 1985;
Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:
- Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan sebagai lumpur campuran. MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk didalamnya adalah mikroorganisma. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur 1050C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
- Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 - 6500C, dan nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.
- Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan indikasi beban organik yang masuk kedalam sistem lumpur aktif dan diwakili nilainya dalam kilogram BOD per kilogram MLSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986). Adapun formulasinya sebagai berikut :
F/M = Q x BOD5
MLSS x V
|
dimana :
Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)
BOD5 = BOD5 (mg/l)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l)
V = Volume tangki aerasi (Gallon)- Rasio F/M dikontrol oleh laju sirkulasi lumpur aktif. Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk tangki aerasi konvensional rasio F/M adalah 0,2 - 0,5 lb BOD5/hari/lb MLSS, tetapi dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986). Rasio F/M yang rendah mencerminkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien.
- Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D) (Sterritt dan Lester, 1988).
HRT = 1/D = V/ Q
|
dimana :
V = Volume tangki aerasi
Q = Laju influent air limbah ke dalam tangki aerasi
D = Laju pengenceran.
- Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi dapat dalam hari lamanya. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dihitung dengan formula sebagai berikut (Hammer, 1986; Curds dan Hawkes, 1983) :
Umur Lumpur (Hari) =
MLSS x V
SSe x Qe
+ SSw X Qw
|
dimana :
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l).
V = Volume tangki aerasi (L)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe = Laju effluent limbah (m3/hari)
Qw = Laju influent limbah (m3/hari).- Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam konvensional lumpur aktif. Pada musim dingin lebih lama dibandingkan musim panas (U.S. EPA, 1987a). Parameter penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah laju pemuatan organik, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi tangki pengendapan akhir. Tangki ini mempunyai dua fungsi: penjernih dan penggemukan mikroba. Untuk operasi rutin, orang harus mengukur laju pengendapan lumpur dengan menentukan indeks volume lumpur (SVI), Voster dan Johnston, 1987.
II. PROSES LUMPUR AKTIF
2.2. Modifikasi Proses Lumpur Aktif Konvensional
2.2. Modifikasi Proses Lumpur Aktif Konvensional
Ada beberapa modifikasi dari proses lumpur aktif konvensional (Nathanson, 1986;
US. EPA, 1977), Lihat Gambar 2.
Gambar 2. Modifikasi proses lumpur aktif.
A. Sistem aerasi lanjutan. B. Parit oksidasi (US EPA, 1977, dalam Bitton, 1994)
Sistem
Aerasi Lanjutan
Proses ini dipakai dalam instalasi paket pengolahan dengan cara sebagai berikut
:
- Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem konvensional. Usia lumpur juga lebih lama dan dapat diperpanjang sampai 15 hari.
- Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu dalam pengendapan primer.
- Sistem beroperasi dalam F/M ratio yang lebih rendah (umumnya <0,1 lb BOD/hari/lb MLSS) dari sistem konvensional (0,2 - 0,5 lb BOD/hari/lb MLSS).
- Sistem ini membutuhkan membutuhkan sedikit aerasi dibandingkan dengan pengolahan konvensional dan terutama cocok untuk komunitas yang kecil yang menggunakan paket pengolahan.
Selokan
Oksidasi (Oxidation Ditch)
Selokan oksidasi terdiri dari saluran aerasi yang berbentuk oval yang
dilengkapi dengan satu atau lebih rotor rotasi untuk aerasi limbah. Saluran ini
menerima limbah yang telah disaring dan mempunyai waktu tinggal hidraulik (hidraulic
retention time) mendekati 24 jam.
Aerasi
Bertingkat
Limbah hasil dari pengolahan primer (pengendapan) masuk dalam tangki aerasi
melalui beberapa lubang atau saluran, sehingga meningkatkan distribusi dalam
tangki aerasi dan membuat lebih efisien dalam penggunaan oksigen. Proses ini
dapat meningkatkan kapasitas sistem pengolahan.
Stabilisasi
Kontak
Setelah limbah dan lumpur bercampur dalam tangki reaktor kecil untuk waktu yang
singkat (20-40 menit), aliran campuran tersebut dialirkan ke tangki penjernih
dan lumpur dikembalikan ke tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4 - 8 jam.
Sistem ini menghasilkan sedikit lumpur.
Sistem
Aerasi Campuran
Pada sistem ini limbah hanya diaerasi dalam tangki aerasi secara merata. Sistem
ini dapat menahan shock load dan racun.
Lumpur
Aktif Kecepatan Tinggi
Sistem ini digunakan untuk mengolah limbah konsentrasi tinggi dan dioperasikan
untuk beban BOD yang sangat tinggi dibandingkan proses lumpur aktif
konvensional. Proses ini mempunyai waktu tinggal hidraulik sangat singkat.
Sistem ini beroperasi pada konsentrasi MLSS yang tinggi.
Aerasi
Oksigen Murni
Sistem aerasi dengan oksigen murni didasarkan pada prinsip bahwa laju tranfer
oksigen lebih tinggi pada oksigen murni dari pada oksigen atmosfir. Proses ini
menghasilkan kemampuan oksigen terlarut menjadi lebih tinggi, sehingga
meningkatkan efisiensi pengolahan dan mengurangi produksi lumpur.
2.3. Biologi Lumpur Aktif
Dua tujuan dari sistem lumpur aktif pertama adalah oksidasi material organik
yang biodegradable dalam tangki aerasi kemudian dikonversi menjadi bentuk sel
yang baru, kedua flokulasi, memisahkan biomassa yang baru terbentuk dari air
effluent.
Survei
Organisme Dalam Lumpur Aktif
Flok dalam aktifitas lumpur mengandung sel bakteri disamping partikel anorganik
dan organik. Ukuran flok bervariasi antara <1 m m (ukuran beberapa sel
bakteri) sampai dengan 1 000 m m atau lebih (Parker et al., 1971; U.S.EPA, 1987a),
Lihat Gambar 3. Sel hidup dalam flok dapat diukur dengan analisis ATP dan
aktifitas dehidrogenase, berjumlah 5-20% dari total sel (Weddle dan Jenkins,
1971). Beberapa peneliti menjaga agar fraksi aktif bakteri dalam lumpur aktif
mewakili hanya 1-3% bakteri total (Hanel, 1988).
Gambar 3. Distribusi ukuran partikel dalam lumpur aktif
(Parker et al, 1971, dalam Bitton, 1994).
Berikut
ini adalah beberapa mikroorganisme yang dapat diamati dalam flok lumpur aktif.
Bakteri
Bakteri merupakan unsur utama dalam flok lumpur aktif. Lebih dari 300 jenis
bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif. Bakteri tersebut bertanggung
jawab terhadap oksidasi material organik dan tranformasi nutrien, dan bakteri
menghasilkan polisakarida dan material polimer yang membantu flokulasi biomassa
mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah : Zooglea, Pseudomonas,
Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter, Corynebacterium,
Comomonas, Brevibacterium, dan Acinetobacter, disamping itu ada pula
mikroorganisme berfilamen, yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa,
Vitreoscilla yang dapat menyebabkan sludge bulking.
Karena tingkat oksigen dalam difusi terbatas, jumlah bakteri aktif aerobik
menurun karena ukuran flok meningkat (Hanel, 1988). Bagian dalam flok yang
relatif besar membuat kondisi berkembangnya bakteri anaerobik seperti
metanogen. Kehadiran metanogen dapat dijelaskan dengan pembentukan beberapa
kantong anaerobik didalam flok atau dengan metanogen tertentu terhdap oksigen
(Wu et al., 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup baik dan cocok untuk
material bibit bagi pengoperasian awal reaktor anaerobik.
Tabel
1. Distribusi Bakteri Heteropik Aerobik Dalam Lumpur Aktif Standard
(Hiraishi et al. (1989).
(Hiraishi et al. (1989).
GENUS
KELOMPOK |
PERSENTASI
DARI TOTAL ISOLAT |
Comamonas-Pseudomonas
|
50
|
Alkaligenes
|
5,8
|
Pseudomonas
(Kelompok Florescent)
|
1,9
|
Paracoccus
|
11,5
|
Unidentified
(gram negative rods)
|
1,9
|
Aeromomas
|
1,9
|
Flavobacterium
- Cytophaga
|
13,5
|
Bacillus
|
1,9
|
Micrococcus
|
1,9
|
Coryneform
|
5,8
|
Arthrobacter
|
1,9
|
Aureobacterium-Microbacterium
|
1,9
|
Jumlah total bakteri dalam lumpur aktif standard adalah 108 CFU/mg
lumpur. Tabel 1. menunjukkan beberapa genus bakteri yang ditemui dalam standard
lumpur aktif. Sebagian besar bakteri yang diisolasi diidentifikasi sebagai
spesies-spesies Comamonas-Psudomonas.
Caulobacter, bakteri
bertangkai umumnya ditemukan dalam air yang miskin bahan organik, dapat
diisolasi dari kebanyakan pengolahan limbah, khususnya lumpur aktif (MacRae dan
Smit, 1991).
Gambar 4. Distribusi
Zoogloea adalah bakteri yang menghasilkan exopolysaccharide yang
membentuk proyeksi khas seperti jari tangan dan ditemukan dalam air limbah dan
lingkungan yang kaya bahan organik (Norberg dan Enfors, 1982; Unz dan Farrah,
1976; Williams dan Unz, 1983). Zoogloea diisolasi dengan menggunakan media yang
mengandung m-butanol, pati, atau m-toluate sebagai sumber karbon.
Bakteri ini ditemukan dalam berbagai tahap pengolahan limbah tetapi jumlahnya
hanya 0,1-1% dari total bakteri dalam mixed liqour (Williams dan Unz,
1983). Kepentingan relatif bakteri ini dalam air limbah membutuhkan penelitian
lebih lanjut.
Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti
bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia
menjadi nitrat dan bakteri fototrofik seperti bakteri ungu non sulfur
(Rhodospilrillaceae), yang dapat dideteksi pada konsentrasi sekitar 105
sel/ml. Bakteri ungu dan hijau ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil.
Barangkali, bakteri fototrofik hanya sedikit berperan dalam penurunan nilai BOD
dalam lumpur aktif (Madigan, 1988; Siefert et al., 1978).
Fungi
Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun beberapa fungi
berfilamen kadang-kadang ditemukan dalam flok lumpur aktif. Fungi dapat tumbuh
pesat dibawah kondisi pH yang rendah, toksik, dan limbah yang kekurangan
nitrogen. Genus yang dominan ditemukan dalam lumpur aktif adalah Geotrichum,
Penicillium, Cephalosporium, Cladosporium, dan Alternaria (Pipes dan
Cooke, 1969; Tomlinson dan Williams, 1975). Lumpur ringan (Sludge Bulking)
dapat dihasilkan oleh pertumbuhan yang pesat Geotrichum candidum, yang
dirangsang oleh pH rendah dari limbah yang asam.
Protozoa
Protozoa adalah significant predator dalam lumpur aktif seperti dalam
lingkungan akuatik alam (Curds, 1982; Drakides, 1980; Fenchel dan Jorgensen,
1977; LaRiviere, 1977). Pemakanan bakteri oleh protozoa dapat ditentukan dengan
eksperimen pemakanan bakteri yang telah diberi 14C atau 35C
atau flouresen (Hoffmann dan Atlas, 1987; Sherr et al, 1987). Pemakanan bakteri
tersebut dapat mereduksi toksikan. Contoh, Aspidisca costata yang
memakan bakteri dalam lumpur aktif dapat menurunkan Kadmium (Hoffmann dan
Atlas, 1987). Protozoa paling sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Carchesium,
Paramecium sp, Opercularia sp, Chilodenella sp, Vorticella sp, Apidisca sp (Dart
dan Stretton, 1980, Edeline, 1988; Eikelboom dan van Buijsen, 1981).
Cilliata. Siliata atau bulu getar digunakan untuk pergerakan dan
mendorong partikel makanan kedalam mulut . Siliata dibagi menjadi tiga, yaitu :
Siliata bebas (free), merayap (creeping), dan bertangkai (stalked).
Siliata bebas (tidak terikat) memakan bakteri bebas yang terbang. Genus yang
paling penting sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Chilodonella,
Colpidium, Blepharisma, Euplotes, Paramecium, Lionotus, Trachelophyllum, dan
Spirostomum. Siliata merayap memakan bakteri yang berada dipermukaan
flok lumpur aktif. Dua genus penting, yaitu : Aspidisca dan Euplotes.
Cilitas bertangkai menempel tangkainya pada flok. Tangkai mempunyai myoneme
untuk menangkap mangsa. Contoh siliata bertangkai adalah Vorticella,
Carchesium, Opercularia, dan Epistylis.
Rotifers
Rotifers adalah metazoa (organisme bersel banyak) dengan ukuran bervariasi dari
100 mm - 500 m m. Tubuhnya menancap pada partikel flok dan sering tercabut dari
permukaan flok (Doohan, 1975; Eikelboom dan van Buijsen, 1981). Rotifers
ditemukan dalam instalasi pengolahan air limbah termasuk dua orde pertama,
Bdelloidea (contoh : Philodina spp., Habrotrocha spp.) dan Monogononta (contoh
: Lecane spp., Notommata spp.). Peranan rotifers dalam lumpur aktif adalah :
(1) menghilangkan bakteri tersuspensi (contoh : bakteri yang tidak membentuk
flok; (2) memberi kontribusi terhadap pembentukan flok melalui pelet kotoran
yang dikelilingi oleh mukus. Kehadiran rotifers dalam tahap akhir pengolahan
limbah sistem lumpur aktif dikarenakan kenyataan bahwa hewan ini mempunyai
siliata yang kuat yang menolong dalam mencari makan dan menurunkan jumlah
bakteri tersuspensi (membuat air lebih jernih) dan aksi siliatanya lebih kuat
dibandingkan protozoa.
2.4. Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi
Air limbah domestik mempunyai rasio C:N:P sebesar 100 : 5 : 1, yang mencukupi
untuk kebutuhan sebagian besar mikroorganisme. Bahan organik dalam air limbah
terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan fraksi partikel. Bahan organik
terlarut sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme heterotrophik dalam mixed
liquor. Bahan organik ini cepat hilang oleh adsorpsi dan proses flokulasi,
dan juga oleh absorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme. Aerasi dalam beberapa
jam dapat membuat perubahan dari BOD terlarut menjadi biomassa mikrobial.
Aerasi mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi mikroorganisme aerobik,
dan (2) menjaga lumpur aktif agar selalu konstan teragitasi untuk melaksanakan
kontsak yang cukup antara flok dengan air limbah yang baru datang pada sistem
pengolahan limbah. Konsentrasi oksigen yang cukup juga diperlukan untuk
aktifitas mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik, khususnya bakteri
nitrit. Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l. Proses
nitrifikasi berhenti jika oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l (Dart dan Stretton,
1980). Curds dan Hawkes (1983) membuat ringkasan reaksi degradasi dan
biosintesis yang terjadi dalam tangki aerasi dalam proses lumpur aktif (Gambar
5).
Gambar 5. Penghilangan Bahan Organik Dalam Proses Lumpur Aktif
(Curds dan Hawkes, 1983 dalam Gabriel Bitton, 1994.
2.5. Pengendapan Lumpur
Campuran air dan lumpur (mixed liqour) dipindahkan dari tangki aerasi ke
tangki pengendapan, tempat lumpur dipisahkan dari air yang telah diolah.
sebagian lumpur aktif dikembalikan ke tangki aerasi dan sebagian lagi dibuang
dan dipindahkan ke pengolahan aerobik. Sel mikrobial terjadi dalam bentuk
agregat atau flok, densitasnya cukup untuk mengendap dalam tangki penjernih.
Pengendapan lumpur tergantung ratio F/M dan umur lumpur. Pengendapan yang baik
dapat terjadi jika lumpur mikroorganisme berada dalam fase endogeneous, yang
terjadi jika karbon dan sumber energi terbatas dan jika pertumbuhan bakteri
rendah. Pengendapan lumpur yang baik dapat terjadi pada rasio F/M yang rendah
(contoh : tingginya konsentrasi MLSS). Sebaliknya, Rasio F/M yang tinggi
mengakibatkan pengendapan lumpur yang buruk.
Dalam airlimbah pemukiman, rasio F/M yang optimum antara 0,2 dan 0,5 (Gaudy dan
Gaudy, 1988; Hammer, 1986). Rata-rata waktu tinggal sel yang diperlukan untuk
pengendapan yang efektif adalah 3 - 4 hari (Metcalf dan Eddy, 1991).
Pengendapan yang tidak baik dapat terjadi akibat gangguan yang tiba-tiba pada
parameter fisik (suhu dan pH), kekurangan makanan (contoh N, suhu,
mikronutrien), dan kehadiran zat racun (seperti logam berat) yang dapat
menyebabkan hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989). Cara
konvensional untuk monitoring pengendapan lumpur adalah dengan menentukan
Indeks Volume Sludge (Sludge Volume Index = SVI). Caranya adalah sebagai
berikut : Lumpur campuran dari tangki aerasi dimasukkan dalam silinder volume 1
liter dan dibiarkan selama 30 menit. Volume sludge dicatat. Volume lumpur yang
mengendap adalah SV, MLSS adalah mixed liqour suspended solid (mg/l). Dalam
pengolahan lumpur yang konvensional (MLSS < 3 500 mg/l) nilai SVI berkisar
50 - 150 ml/g.
SVI (ml/g) = SV x 1.000
MLSS
|
2.6. Pengolah Limbah Tekstil P.T. Unitek, Bogor
Indonesia dalam satu dasa warsa ini dikenal sebagai penghasil tekstil yang
besar disamping India dan Pakistan. Dalam proses produksi industri tekstil
banyak menggunakan bahan kimia dan air. Bahan kimia yang digunakan antara lain
untuk proses pencucian, pemutihan, dan pewarnaan. Akibat dari itu pencemaran
lingkungan menjadi masalah bagi masyarakat yang tinggal disekitar industri
tekstil. Mengingat pentingnya industri tekstil sebagai penghasil devisa negara
dan perlunya perlindungan lingkungan, maka diperlukan adanya teknologi pengolah
limbah tekstil yang handal. Salah satu contoh pengolahan limbah tekstil yang
hingga saat ini beroperasi adalah pengolahan limbah tekstil milik P.T. Unitex
di Bogor.
Gagasan unit pengolah limbah tekstil di PT. Unitek lahir dari Presiden Direktur
Mr. S. Okabe karena pada tahun tersebut belum ada perusahaan yang dapat
dijadikan contoh dalam pengolahan air limbah. Kemudian rancang bangunnya
dilaksanakan oleh perusahaan induknya di Jepang, yaitu Unitika Ltd. Dalam
perkembangan selanjutnya terus mengalami perbaikan dan penambahan sejalan
dengan peningkatan produksi. PT. Unitek merupakan pabrik tekstil terpadu.
Proses produksinya meliputi pemintalan (spinning), pertenunan (weaving),
pencelupan (dyeing) dan penyelesaian akhir (finishing). Pada
umumnya polutan yang terkandung dalam limbah industri tekstil dapat berupa
padatan tersuspensi, padatan terlarut serta gas terlarut. Karakteristik limbah
pada umumnya bersifat alkalis (pH = 7), suhunya tinggi serta berwarna pekat.
Untuk menghilangkan polutan tersebut, diperlukan pengolahan yang dapat
memisahkan dan menghancurkan polutan yang terkandung didalamnya.
III. TAHAPAN
Instalasi Pengelolaan Air Limbah PT. Unitek dibangun Tahun 1988 di atas tanah
seluas 4000 m2, dan mampu mengolah limbah tekstil lebih dari 2000 m3/hari.
Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi atas tiga tahap pemrosesan,
yaitu :
- Proses primer yang meliputi penyaringan kasar, penghilangan warna, ekualisasi, penyaringan halus, pendinginan.
- Proses sekunder yang meliputi proses biologi dan sedimentasi.
- Proses tersier yang merupakan tahap lanjutan dengan penambahan bahan kimia.
Melalui upaya pengelolaan yang telah dilakukan, maka air limbah yang dibuang
tidak akan mencemari lingkungan. Biaya investasi pembangunan instalasi ini
hanya sekitar 2% dari total investasi atau sekitar 2,5 milyard rupiah. Sistem
pengolah limbah yang digunakan merupakan perpaduan antara proses fisika, kimia,
dan biologi. Proses yang berperan dalam pengurangan bahan pencemar adalah
proses biologi yang menggunakan sistem lumpur aktif dengan aerasi lanjutan (extended
aeration).
Selain limbah cair terdapat pula limbah padat yang berupa lumpur, hasil samping
dari sistem pengolahan yang digunakan. Lumpur hasil olahan digunakan sebagai
bahan campuran pembuatan conblock dan batako press serta pupuk organik. Hal ini
merupakan salah satu alternatif dan langkah lebih maju dari PT. Unitek dalam
memanfaatkan kembali limbah padat.
Gambar 6. Unit Pengolah Limbah Tekstil Kapasitas 200 m3/hari.
Gambar 7. Bak penampung yang masih panas.
Gambar 8. Bak pengendap pertama
Gambar 9. Pemberian koagulan (ferro sulfat) untuk menghilangkan warna.
Gambar 10. Bak pengendap (clarifier) setelah diberi koagulan ferro sulfat.
Gambar 11. Menara pendingin (Colling Tower) sebelum air masuk ke dalam bak aerasi.
Gambar 12. Bak aerasi tahap petama
Gambar 13. Lumpur aktif dari bak pengendap akhir dikembalikan ke bak aerasi tahap pertama.
Gambar 14. Bak pengendap akhir
Gambar 15. Contoh air di bak pengendap akhir.
Gambar 16. Air hasil olahan sebelum dibuang ke lingkungan.
Gambar 17. Bioassay
Gambar 18. Contoh air baku sampai dengan air hasil olahan.
IV. CARA PEMBUATAN
Urutan proses pengolahan limbah di PT. Unitek secara garis besar dibagi dalam 5
unit proses yang meliputi proses primer, sekunder, dan tersier, yaitu :
- Unit 1 : adalah proses penghilangan warna dengan sistem koagulasi dan sedimentasi.
- Unit 2 : adalah proses penguraian bahan organik yang terkandung di dalam air limbah dengan sistem lumpur aktif.
- Unit 3 : adalah proses pemisahan air yang telah bersih dengan lumpur aktif dari kolam aerasi.
- Unit 4 : adalah proses penghilangan padatan tersuspensi setelah pengendapan.
- Unit 5 : adalah proses pemanfaatan lumpur padat setelah pengepresan di belt press.
Untuk
jelasnya lihat Gambar 19. Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif PT. UNITEX.
4.1. Proses Pengolahan Limbah
4.1. Proses Pengolahan Limbah
Proses
pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi menjadi tiga tahap pemrosesan, yaitu :
- Proses primer,
Proses primer merupakan perlakuan pendahuluan yang meliputi : a).
Penyaringan kasar,
b). Penghilangan warna,
c). Ekualisasi,
d). Penyaringan halus, dan
e). Pendinginan. - Proses sekunder, Proses biologi dan sedimentasi.
- Proses tersier, merupakan tahap lanjutan setelah proses biologi dan sedimentasi.
Adapun
waktu yang dibutuhkan untuk tiap-tiap proses dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2. Dimensi, Debit Air Masuk, dan Waktu Tinggal
dari masing-masing Unit Pengolah Limbah Cair PT. UNITEX.
dari masing-masing Unit Pengolah Limbah Cair PT. UNITEX.
Unit
Penanganan
|
Jumlah
|
Vol Tangki (m3)
|
Total Vol (m3)
|
Debit (m3/hari)
|
Waktu Retensi
|
Kolam
equalisasi
Limbah
air warna
|
2
|
59 + 56
|
115
|
1200
|
2.3 jam
|
Limbah
air umum
|
1
|
653
|
653
|
1800
|
8.7 jam
|
Tangki
Koagulasi I
|
1
|
3.1
|
3.6
|
720
|
7.2 menit
|
Tangki
Sedimentasi I
|
2
|
14.2
|
28.4
|
720
|
25 menit
|
Kolam
Aerasi
|
3
|
2(1250) + 925
|
3425
|
3000
|
27.4 jam
|
Tangki
Sedimentasi II
|
1
|
407
|
407
|
3394
|
2.9 jam
|
Tangki
Koagulasi II
|
1
|
6
|
6
|
3394
|
2.5 menit
|
Tangki
Intermeadiat
|
1
|
57
|
57
|
3394
|
24 menit
|
Tangki
Sedimentasi III
|
1
|
178
|
178
|
3394
|
1.26 jam
|
Kolam
Ikan
|
1
|
15
|
15
|
3394
|
6.4 menit
|
0 komentar:
Posting Komentar